1. Pendahuluan
Education is not a preparation
for life, education is life itself.
Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu
sendiri. Demikian John Dewey menegaskan pemikirannya tentang pendidikan. Dengan
demikian, umur pendidikan sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini.
Ketika Adam diciptakan oleh Tuhan, bersama itu pulalah proses
pendidikan telah berlangsung, sebagai suatu sistem yang dibangun oleh Allah
SWT. Adam diajari untuk dapat menyebutkan nama-nama yang ada di bumi, tempat
kehidupan Adam dan keturunannya. Dengan demikian, yang dimaksud pendidikan
sebenarnya memang dengan makna kehidupan itu sendiri.
Tidak demikianlah halnya dengan malaikat dan iblis. Adam dapat
menyebutkan nama-nama, sementara malaikat dan iblis tidak dapat menyebutkan
nama-nama itu. Mengapa? Karena hanya manusialah yang telah memperoleh
pendidikan, langsung dari Allah SWT. Itulah proses pendidikan yang dilakukan oleh manusia untuk pertama kalinya.
Proses itu kemudian dikembangkan sendiri oleh manusia, karena manusia memiliki
otak, faktot penentu kelebihan manusia dibandingkan dengan mahluk lain yang
sama-sama diciptakan Allah SWT.
Untuk menjadi manusia yang sempurna, manusia tidak
boleh tidak memang harus belajar, atau harus memperoleh pendidikan. Manusia
merupakan mahluk yang dapat diajar dan dapat mengajar. Animat educandum dan
animal educancus. Manudia mahluk pembelajar, mahluk yang dapat dididik dan
dapat mendidik.
Untuk menjadi manusia saja, manusia memang tidak
boleh berhenti belajar. Apalagi untuk menjadi guru yang akan mengajar. Untuk dapat melaksanakan tugas
profesionalnya dengan baik, calon guru harus memiliki empat standar kompetensi
guru, yaitu (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadan, (3)
kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional. Kompetensi pedagogis
adalah kompetensi guru yang terkait dengan penguasaan materi tentang teori
belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, termasuk di dalamnya
penguasaan materi tentang ilmu pendidikan. Siapa yang berhenti belajar, artinya
ia telah mati.
Mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya
dan Teknologi ini akan diajarkan kepada mahasiswa agar mahasiswa dapat menjadi
bekal pengetahuan bagi para calon guru tentang berbagai aspek yang terkait
dengan konsep dan dasar-dasar ilmu-ilmu pendidikan dalam konteks kehidupan
manusia.
Mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya
dan Teknologi yang akan Anda pelajari ini mencakup: (1) kondisi lingkungan
sosial budaya dan teknologi dalam kehidupan masyarakat, dan (2) hubungan dan
pengaruh timbal balik antara pendidikan dan kondisi sosial budaya dan teknologi
itu sendiri. Kedua aspek tersebut akan menjadi materi utama yang akan dibahas
dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi.
2. Kompetensi
Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan
Sosial Budaya dan Teknologi ini, diharapkan mahasiswa
dapat memiliki kompetensi sebagai berikut:
2.1.
Memahami hakikat manusia dalam
kehidupannya;
2.2.
Memahami hakikat pendidikan
dalam kehidupan manusia;
2.3.
Memahami hubungan antara
pendidikan dan kebudayaan;
2.4.
Memahami pendidikan sebagai
suatu sistem;
2.5.
Memahami hak azasi manusia
dalam memperoleh pendidikan;
2.6.
Memahami pilar-pilar
pendidikan;
2.7.
Memahami teori nativisme;
2.8.
Memahami teori empirisme;
2.9.
Memahami teori konvergensi;
2.10.
Memahami kondisi sosial budaya
dan teknologi sebagai lingkungan pendidikan;
2.11.
Memahami nilai-nilai sosial
budaya dalam masyarakat;
2.12.
Memahami
teknologi sebagai salah satu faset kebudayaan.
3. Tujuan Pembelajaran
3.1.
Menjelaskan
makna pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia;
3.2.
Menjelaskan
makna pendidikan sebagai proses kehidupan manusia;
3.3.
Menjelaskan
hubungan antara pendidikan dengan kebudayaan;
3.4.
Menjelaskan
pendidikan sebagai suatu sistem;
3.5.
Menjelaskan
hak azasi manusia untuk memperoleh pendidikan;
3.6.
Menjelaskan
pilar-pilar pendidikan;
3.7.
Menyebutkan tiga teori pendidikan;
3.8.
Menjelaskan
tokoh, pengertian, dan implikasi dari ketiga teori pendidikan;
3.9.
Menyebutkan
norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat;
3.10.
Menjelaskan
pengaruh norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat terhadap
proses pendidikan;
3.11.
Menjelaskan
teknologi sebagai faset kebudayaan.
4. Kegiatan Pembelajaran
4.1. Rincian Materi Pembelajaran
Mata kuliah ini disampaikan kepada
mahasiswa dalam 16 kali pertemuan dengan rindian materi pembelajaran, termasuk
dua kali pertemuan untuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester
(UAS) sebagai berikut:
Pertemuan
|
Materi
pembelajaran
|
I
|
Informasi Mata
Kuliah dan Kontrak Perkuliahan
|
II
|
Hakikat Manusia
dan Kehidupannya
|
III
|
Hakikat
Pendidikan dan Kehidupan Manusia
|
IV
|
Pendidikan dan
Kebudayaan
|
V
|
Pendidikan
Sebagai Suatu Sistem
|
VI
|
Hak Azasi
Memperoleh Pendidikan
|
VII
|
Pilar-pilar
Pendidikan
|
VIII
|
UTS
|
IX
|
Teori
Pendidikan: Nativisme
|
X
|
Teori
Pendidikan: Empirisme
|
XII
|
Teori
Pendidikan: Konvergensi
|
XII
|
Lingkungan
Pendidikan
|
XIII
|
Nilai-nilai
Sosial Budaya
|
XIV
|
Kebudayaan dan
Teknologi
|
XV
|
Kritik Terhadap
Pendidikan
|
XVI
|
UAS dan Tugas
Mandiri
|
4.2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran dan Contoh
Pertemuan I: Informasi
Mata Kuliah dan Kontrak Perkuliahan
Dalam pertemuan pertama ini mahasiswa akan menerima fotokopi silabus mata kuliah, agar secara dini
mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang akan dipelajari selama satu semester.
Bahkan akan lebih baik jika mahasiswa menerima modul yang dapat dipelajari
secara mandiri. Bagi mahasiswa tugas belajar, sebagai misal, mudul akan menjadi
bahan ajar yang akan sangat membantu mahasiswa untuk dapat menguasai kompetensi
yang diharapkan.
Di samping itu, mahasiswa diminta untuk paling tidak memiliki satu buku
referensi yang ada di dalam modul atau silabus mata kuliah. Mahasiswa harus
melaporkan dan menunjukkan buku referensi apa yang dimiliki.
Pertamuan pertama ini dilakukan dengan cara dialog. Kemudian antara
dosen dan mahasiswa dapat melakukan
kontrak perkuliahan, misalnya tingkat kehadiran mahasiswa 80%, kurang dari 80%
mahasiswa tidak dapat mengikuti UTS dan UAS, dan sebagainya.
Pertemuan II: Hakikat Manusia dan Kehidupannya
Tuhan Yang Maha Esa adalah maha pencipta (khalik). Manusia adalah salah
satu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (makhluk). Manusia adalah mahluk yang
tertinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lainnya. Ketinggian derajat
tersebut ditentukan oleh tingkat ketakwaannya kepada sang khalik-Nya, karena
Khalik-Nya telah memberikan otak kepada manusia. Namun manusia dapat menjadi
serendah-rendahnya derajat tersebut jika manusia tidak menggunakan akal dengan
sebaik-baiknya.
Namun manusia akan menjadi manusia seutuhnya jika ia hidup dan diasuh oleh
manusia dengan cara manusia. Contoh: cerita Kama dan Kamala, tentang mahluk
manusia serigala. Ceritanya begini. Ada anak kembar yang baru dilahirkan di
negeri antah berantah. Kedua bayi ini dibuang ke hutan, karena orangtuanya
merasa malu kepada masyarakat, lantaran bayi itu telah lahir dari hubungan
zinah. Kedua bayi itu dipelihara oleh serigala. Maka jadilah anak serigala.
Dengan instinknya, serigala memelihara kedua bayi itu, dan jadilah keduanya
menjadi manusia serigala.
Manusia dapat disebut sebagai mahluk pembelajar. Dengan otaknya, manusia
menyesuaikan dan mengembangkan peradaban manusia sesuai dengan perkembangan
zaman. Hasil karya manusia selalu berubah dan berkembang dari zaman ke zaman. Bedakan
sarang burung dan rumah manusia. Sarang burung tidak mengalami perubahan.
Bandingkan antara tangga rumah panggung di Kalimantan dengan eskalator atau lift di gedung bertingkat di kota-kota
besar.
Manusia sama sekali berbeda dengan binatang dalam kehidupannya. Manusia
dapat dan harus dididik karena memiliki akal. Sedang binatang hidup karena
instinknya. Oleh karena itu jika manusia dapat dan harus dididik, maka binatang
tidak dapat dididik. Manusia
hanya dapat dilatih dengan instink tersebut.
Pertemuan III: Hakikat Pendidikan
dan Kehidupan Manusia
Materi yang akan dibahas dalam pertemuan ini
adalah tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pendidikan itu, baik dari
segi etimologis maupun terminologis.
Dari segi etimologis (asal usul kata), pedagogy or paedagogy is the art or science of
being a teacher. The term generally refers to strategies of
instruction, or a style of instruction (wikipedia.com). Pendidikan adalah seni atau ilmu
tentang bagimana menjadi seorang guru. Istilah itu pada umumnya merujuk pada
beberapa strategi pengajaran atau gaya
mengajar. Secara
etimologis paedagogy berasal dari
akar kata Bahasa Latin “pais” artinya
anak, dan “gogos” artinya membimbing.
Dengan demikian, pendidikan artinya membimbing anak. Paedagogy dalam Bahasa
Inggris dikenal dengan “education”
yang juga berasal dari akan kata Bahasa Latim “educare” yang artinya membawa
keluar yang tersimpan di dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan
berkembang sesuai dengan potensinya.
Untuk memberikan wawasan tentang hakikat pendidikan, berikut ini
disebutkan beberapa definisi pendidikan dari beberapa ahli dalam tabel berikut.
Tabel III.1: Beberapa Definisi Pendidikan
No.
|
Ahli Pendidikan
|
Definisi Pendidikan
|
1
|
Brubacher
|
Education should thought os as
the process of man’s reciprocal adjustment to nature, to his fellows, and to
the ultimates nature of the cosmos. Pendidikan haru dipikirkan sebagai proses
penyesuaian timbal balik antara manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan
dengan semesta alam.
|
2
|
M.J. Langeveld
|
Mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada
anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam
arti dapat bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilihannya
sendiri.
|
3
|
Hoogveld
|
Mendidik adalah membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan
tugas hidupnya atas tanggungan sendiri
|
4
|
Sis Heyster
|
Mendidikadalah membantu manusia dalam pertumbuhannya agar ia kelas
mendapat kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya yang dapat tercapai olehnya
dengan tidak mengganggu orang lain
|
5
|
John Dewey
|
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
|
6
|
Ki Hajar Dewantara
|
Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti
(kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak, agar mereka dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak,
selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
|
7.
|
D. Marimba
|
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
|
8
|
Sumantri Brojonogoro
|
Pendidikan adalah memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa
untuk menyiapkan agar dapat memenuhi sendiri tugas hidupnya atau dengan
secara singkat pendidikan adalah tuntunan kepada pertumbuhnan manusia mulai
lahir sampai tercapainya kedewasaan, dalam arti jasmaniah dan rohaniah.
|
9
|
M. Noor Syam
|
Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan
kepribadiannya dengan jalan membina potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir,
cipta, karsa, rasa dan budi nurani) dan jasmani (penginderaan serta
keterampilan-keterampilan).
|
10
|
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
|
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
|
Sumber: Madyo Ekosusilo, 1987: 13 – 15.
Selain definisi tersbut, cobalah
berusaha untuk memahami pandangan John Dewey tentang pendidikan dalam
tulisannya sebagai berikut: “In sum, I
believe that the individual who is to be educated is a social individual and
that society is an organic union of individuals. If we eliminate the social
factor from the child we are left only with an abstraction; if we eliminate the
individual factor from society, we are left only with an inert and lifeless
mass. Education, therefore, must begin with a psychological insight into the
child's capacities, interests, and habits. It must be controlled at every point
by reference to these same considerations. These powers, interests, and habits
must be continually interpreted--we must know what they mean. They must be
translated into terms of their social equivalents--into terms of what they are
capable of in the way of social service”.
Menurut John
Dewey, pendidikan merupakan proses sosial. Individu yang akan memperoleh
pendidikan --- mulai sejak bayi yang dilahirkan --- berada dalam kehidupan
sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan individu tersebut. Individu tersebut disebut sebagai
”social individual” atau individu
yang dalam kehidupan sosial. Sedang masyarakat adalah satu kesatuan organik
dari individual-individual. Jika akan memisahkan faktor sosial dari individu,
maka yang tertinggal adalah hanyalah sebuah abstraksi. Sebaliknya, jika akan
memisahkan faktor indovidu dari masyarakat, maka yang tersisa adalah masyarakat
tanpa kehidupan.
Kehidupan pada hakikatnya sebagai proses
pendidikan yang sebenarnya (the true
educational
process). Education is not preparation for life;
education is life itself. Pendidikan
bukanlah persiapan untuk kehidupan; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Demikian John Dewey berpesan kepada kita.
Proses
pendidikan telah membentuk manusia secara individual. Proses pendidikan pulalah
yang telah membentuk manusia sebagai komunitas, atau bahkan sebagai bangsa dan
negara. Kita dapat belajar dari sejarah kehidupan suatu bangsa, katakanlah
bangsa Jepang, yang melatarbelakangi bagaimana bangsa Jepang telah mendidik
bangsanya menjadi negara dan bangsa yang maju di dunia. Ketika Jepang mengalami
kehancuran karena kalah dalam Perang Dunia II, kaisar Jepang menanyakan ”berapa
guru yang masih tersisa”. Beliau tidak menanyakan berapa tentara yang masih
ada. Bukan pula kekayaan alam yang masih ada. Tetapi dengan guru yang masih
tersisa, bangsa Jepang mulai membangun bangsanya. Ternyata, kemajuan suatu
bangsa tidak ditentukan oleh melimpahnya kekayaan alamnya, tetapi oleh
kegigihan bangsa itu dalam perjuangan hidupnya.
Kehidupan
manusia sejak penciptaan yang pertama sampai dengan saat ini dapat
diklasifikasikan dalam empat zaman atau era:
1.
Food Gathering
2.
Green Revolution
3.
Industrial Revolution
4.
Teknologi Informasi
Dalam era food gathering, manusia hidup dalam pola
mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam. Kehidupannya masih nomaden
atau berpindah-pindah dari daerah yang satu ke daerah yang lain, susuai dengan
kondisi bahan makanan yang tersedia. Mereka hidup dalam gua-gua. Di samping mengumpulkan bahan makanan,
mereka juga hidup dengan berburu.
Dalam era green revolution,
manusia sudah hidup menetap (sedenter) dan telah dapat membuka lahan untuk
menghasilkan bahan makanan. Bahkan merka juga telah membuka hutan untuk
dikonversi menjadi sawah dan perkebunan untuk dapat menghasilkan bahan makanan
yang dibutuhkan. Ketika tanahnya sudah tidak subur lagi untuk dapat
menghasilkan bahan makanan, manusia juga telah berhasil dalam melakukan program intensifikasi pertanian.
Dalam era industrial revolution, manusia telah
menemukan berbagai mesin. Sistem produksi tidak lagi dikerjakan dengan tangan
atau memanfaatkan hewan, tetapi telah menggunakan mesin. Berkat penggunaan
mesin tersebut lahirlah jenis pekerjaan yang dikenal dengan industri, yakni
usaha untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi.
Tingkat produktitas menjadi melimpah (over
production), dan oleh karena itu memerlukan perluasan pasar. Pada era
inilah lahir usaha negara produsen untuk menjual barangnya ke negara lain.
Mula-mula mereka mengadakan perdagangan dengan negara-negara itu. Lama-kelamaan
muncul gagasan untuk menguasai daerah tersebut sebagai daerah jajahan. Maka
lahirlah masa imperalisme, dengan membawa slogan 3 G’s, yaitu (1) gold, (2) glory, dan (3) gospel.
Gold dimaknai sebagai kekayaan, glory dimaknai sebagai kejayaan, dan gospel
dimaknai sebagai penyebaran agama dan keyakinan.
Sejarah
kehidupan manusia harus dapat menjadi bahan pelajaran bagi manusia.
Panggung sejarah
manusia menunjukkan bahwa kehidupan manusia saat ini merupakan gambaran dari
usaha untuk menjadikan dirinya sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya agar
manusia dapat menjadi khalifah di dunia ini.
Manusia memang
unik. Manusia yang berhasil karena tempaan kesulitan hidupnya. Tempaan hidup
dapat berupa pengalaman, bahkan berupa cobaan hidup yang menderanya. Mereka
yang tahan terhadap tempaan hidup ini akhirnya akan membentuk diri manusia yang
sesungguhnya. Ada
beberapa contoh bahwa kehidupan sebagai proses pendidikan. Bacalah biografi
beberapa orang penting. Misalnya ”who’s who”,
biografi para presiden, biografi para tokoh, biografi pada penemu, dan
sebagainya. Tuliskan kembali apa yang telah Anda baca. Silahkan membuka
lampiran 1: power point tentang
refleksi dan tindakan.
Pertemuan IV: Pendidikan dan Kebudayaan
Pendidikan adalah pembudayaan. Demikian Fuad Hassan, mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Tonny D. Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia,
2004: (52 – 87) menjelaskan tentang hubungan antara pendidikan dan kebudayaan.
Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses transformasi budaya. Pendidikan
merupakan proses pewarisan budaya, dan sekaligus pengembangan budaya. Jika
kebudayaan diartikan sebagai produk masyarakat, maka pendidikan adalah
prosesnya. Jika kebudayaan sebagai“that
complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and
any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”
atau kebudayaan merupakan satu keseluruhan yang kompleks, termasuk di dalamnya
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, seni, teknologi, dan
banyak kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai warga
masyarakat, maka pendidikan adalah keseluruhan proses yang kompleks untuk
menghasilkan semua itu. Proses apa yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat?
Prose situ adalah pendidikan. Proses apa yang membentuk kepercayaan dalam
masyarakat? Sudah tentu masyarakat pula yang membangunnya. Demikian seni, moral, hukum, kebiasaan,
dan kemampuan lain dalam masyarakat. Semuanya merupakan
produk dari satu proses yang dinamakan pendidikan. Singkat kata, “education enables people and societies to be
what they can be” Pendidikan menjadikan
manusia dan masyarakat mampu menghasilkan apa yang dapat mereka inginkan.
Demikian Bill Richardson menjelaskan peran pendidikan dalam melahirkan
kemampuan tertentu dalam masyarakat.
Untuk mewariskan
budaya tersebut, proses pendidikan dilakukan melalui tiga proses yang saling
kait mengait yang tidak terpisahkan, yaitu: (1) pembiasaan (habit formation), (2) pengajaran dan
pembelajaran (teaching and learning
process), dan (3) peneladanan (role
model). Dengan demikian pengertian pendidikan jauh lebih luas dibandingkan
dengan pengertian pengejaran. Pendidikan adalah pembudayaan. Dengan kata lain,
pendidikan adalah proses pembentukan, pelestarian, dan pengembangan budaya
dalam masyarakat. Pendidikan adalah proses yang dirancang dan dilaksanakan agar
masyarakat dapat menghasilkan produk beruba budaya.
Immanuel Kant
menyebutkan bahwa manusia merupakan animal
educancum dan animal educandus,
mahluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Oleh karena itu, maka sama sekali
tidak benar jika ada pernyataan yang menyatakan bahwa “anak itu tidak dapat
dididik”. Tidak! Proses dan metode yang digunakanlah yang kemungkan tidak tepat
digunakan. Justru anak manusia akan menjadi manusia jika melalui proses
pendidikan, oleh manusia, dan dengan cara yang manusiawi, melalui ketiga proses
tersebut. Pemaknaan pendidikan ini menolak penyempitan makna pendidikan sebagai
peyekolahan, atau juga pendidikan sebagai pengajaran. Proses pendidikan adalah
proses kehidupan itu sendiri. Manusia terlibat dalam keseluruhan proses
pendidikan, baik yang dilakukan terhadap orang lain maupun terhadap dirinya
sendiri (Fuad Hassan, 2004: 53). Dalam pengertian inilah maka UNESCO (United
Nation for Educational, Scientific, and Cultural Organization) menyatakan bahwa
pendidikan berlangsung sepanjang hayat (lifelong
education). Konsep ini persis sama dengan konsep “belajar sepanjang hayat”
atau “tholabul ilmi faridhotun alal
muslimin walmuslimat” atau “menuntut ilmu kewajiban bagi muslimin dan
muslimat”. Konsep ini juga
persis sama bahwa “pendidikan berlangsung sejak lahir (bahkan ketika masih
dalam kandungan) sampai ke liang lahat” (from
the cradle to the grave).
Pendidikan
sebagai proses pembentukan kebiasaan terutama terjadi dalam pendidikan
keluarga. Keluarga adalam lembaga pendidikan utama dan pertama. Namun demikian,
pembentukan kebiasaan juga dapat dikembangkan secara sistematis di lingkungan
sekolah. Dalam model sekolah berasrama, peserta didik akan dituntut untuk
mengikuti pola-pola perilaku yang akan dibentuk oleh lembaga pendidikan itu.
Tetapi perlu disadari bahwa pola-pola pembiasaan yang terjadi dalam keluarga
akan lebih kuat dibandingkan pola-pola yang dibentuk di luar pendidikan keluarga.
Ada pepatah
yang mengingatkan bahwa “pendidikan di waktu kecil ibarat mengukir di atas
batu, pendidikan di waktu besar ibarat mengukir di atas air”. Artinya, proses
pembentukan kebiasaan di waktu kecil akan sudah dilakukan, tetapi hasilnya juga
akan sudah diubah. Sementara pembentukan kebiasaan di waktu besar akan lebih
mudah dibentuk tetapi akan lebih mudah pula berubah. Cobalah baca berbagai
artikel pilihan yang terlampir dalam modul ini.
Proses
pengajaran dan pembelajaran sebagian besar berlangsung dalam jalur pendidikan
formal atau dalam lembaga pendidikan sekolah. Proses ini memang lebih bersifat
formal, dalam arti dengan menggunakan pola-pola yang sudah tersistem, baik dari
aspek struktur persekolahannya, kurikulum, pendidik, tenaga kependidikan, media,
metode, dan alat peraga atau alat bantu pembelajaran yang digunakan, serta
sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan.
Manusia adalah
pengemban budaya (culture bearer),
dan manusia yang hidup dalam tatanan masyarakatnya akan mewariskan kebudayaannya
tersebut kepada keturunannya. Proses pendidikan tidak lain merupakan proses
transformasi budaya, yakni proses untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi
muda.
Pengertian
pendidikan jauh lebih luas dari pengertian pengajaran. Proses pendidikan bukan hanya
sebagai pengalihan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik (transfer of knowledge and skills) tetapi
juga pengalihan nilai-nilai sosial dan budaya (transmission of social and culture values and norms). Untuk
memperdalam pemahaman Anda tentang hal ini, cobalah buat tabel yang membedakan
antara keduanya. Baca buku referensi, dan cari materi yang terkait dengan
perbedaan pendidikan dan pengajaran.
Pertemuan V: Pendidikan
Sebagai Suatu Sistem
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan jagad raya dan seisinya sebagai suatu
sistem. Sistem Tata Surya diciptakan sebagai suatu sistem. Ada matahari, ada
planet-planet dengan bulan-bulannya. Salah satu planet tersebut adalah bumi dan
bulan yang selalu menyinari bumi di malam hari. Di dalam dan permukaan bumi terdapat
mahluk hidup, termasuk di dalamnya adalah manusia.
Manusia juga sebagai suatu sistem karena dibangun dari berbagai unsur yang saling kait mengait tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupannya, manusia membangun sistem sosial, ekonomi, politik, ideologi, dan sebagainya, termasuk pendidikan. Kehidupan sosial manusia juga sebagai suatu sistem. Kehidupan ekonomi juga sebagai suatu sistem. Kehidupan politik, budaya, ideologi, dan semua aspek kehidupan manusia tercipta sebagai suatu sistem.
Dari kacamata kehidupan manusia sebagai sistem, aspek-aspek kehidupan
manusia itu menjadi susbsistemnya. Subsistem sebagai entitas dapat menjadi
suatu sistem, karena dia dibangun dari komponen-komponen yang saling
kait-mengait. Sampai ke suatu subsistem yang terkecil sekalipun ia dapat
menjadi sistem tersendiri sebagai suatu entitas. Katakanlah misalnya,
mikroorganisme sebagai suatu sistem, pembelajaran sebagai suatu sistem,
penilaian sebagai suatu sistem, dan seterusnya. Dengan demikian, apa yang
terdapat dalam jagat raya ini merupakan suatu sistem. Termasuk di dalamnya pendidikan di suatu negara,
atau pendidikan nasional.
Pasal 1 butir 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menjelaskan pengertian pendidikan nasional sebagai suatu sistem sebagai berikut:
“Sistem pendidikan nasional
adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional”.
Pendidikan juga sebagai sistem, yang terdiri dari berbagai komponen yang
saling kait mengait tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain untuk mencapai
tujuan pendidikan. Pendidikan
sebagai suatu sistem dapat digambarkan sebagai berikut.
|
Sumber: EFA
Global Monitoring Report 2005, UNESCO, hal. 36.
Berdasarkan
bagan tersebut, mutu pendidikan menyangkut banyak variabel, dimensi, dan
komponen yang saling kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi.
Peserta Didik (learners).
Peserta didik memiliki karakteristik yang amat
beragam dari satu tempat ke tempat lain, sesuai dengan kondisi alam,
sosial-ekonomi-budaya pendukungnya. Secara spesifik, karakteristik yang
mempengaruhi mutu pendidikan antara lain adalah (a) kondisi sosial ekonomi
keluarga, (b) kondisi sosial-budaya keluarga, (c) keterpencilan peserta didik
karena faktor geografis, (d) kemampuan peserta didik dari aspek akademis dan
nonakademisnya, dan (e) karakteristik lain yang menyangkut gender, disabilitas,
ras dan etnisitas, dan sebagainya.
Dengan alasan
mutu pendidikan, banyak sekolah yang menerapkan tes masuk yang ketat sebagai
alat untuk menyeleksi peserta didik yang akan diterima di sekolahnya. Ada dua karakteristik yang
pada ujungnya digunakan untuk menilai mereka. Pertama, kemampuan akademis
peserta didik untuk jenjang pendidikan menengah. Misalnya sekolah menerapkan
peringkat hasil ujian akhir untuk menerima siswa baru. Kedua, selain itu
sekolah juga melihat kemampuan orang tua siswa secara sosial ekonominya.
Sekolah yang
telah sangat selektif dalam penerimaan siswa baru sebenarnya telah berbuat
terlalu egois, karena berfikir dan bertindak hanya untuk meningkatkan mutu
pendidikan di sekolahnya sendiri. Dengan seleksi seperti itu, maka sesungguhnya
sekolah memang akan menjadi sangat dimudahkan dalam melaksanakan proses belajar
mengajar di sekolahnya. Karena peserta didik yang masuk di sekolah itu memang
peserta didik pilihan. Sebaliknya, sekolah yang menerima sisanya atau siswa
dengan syarat yang lebih rendah, sekolah harus bekerja lebih keras untuk
meningkatkan mutu pendidikannya. Mengingat kondisi seperti itu, sekolah yang
bermutu pada hakikatnya yang menerima siswa dalam kategori kemampuan yang
rendah, tetapi dapat meningkatkan mutunya setara atau lebih baik dari sekolah
yang telah mengadakan seleksi dengan kategori lebih tinggi tersebut.
Masukan (input). Yang termasuk dalam kategori atau dimensi ini adalah sumber daya
manusia (human resources): kepala
sekolah, pendidik atau guru, pengawas sekolah, pegawai Dinas Pendidikan,
pegawai tata usaha sekolah, penjaga sekolah, pengembang kurikulum, teknisi
sumber belajar, dan sebagainya. Dimensi kedua adalah sumber daya material (material resources) seperti buku
pelajaran (textbooks), bahan ajar
(learning materials), ruang kelas (classrooms), perpustakaan (library), fasilitas sekolah (school facilities). Dimensi lainnya adalah
lingkungan sekolah, antara lain adalah kepedulian pemerintah dan pemerintah
daerah, keterlibatan orangtua dan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan.
Semua kategori
masukan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya material, sesungguhnya akan
menjadi sekedar penunjang, karena tanpa dikelola dengan baik (school-level governance), semua masukan
itu akan sia-sia. Guru yang telah dilatih berkali-kali, para pegawai tata usaha
yang juga telah diikutkan inhouse-training,
gedung sekolah yang mentereng, buku-buku pelajaran yang telah dikirim dari
pusat, dan sebagainya, hanya akan bermakna besar untuk meningkatkan mutu
pendidikan jika dikelola dengan kepemimpinan yang kuat, dengan manajemen yang
transparan dan akuntabel. Dengan kata lain, dimensi masukan instrumental (instrumental input) dan masukan
lingkungan (environmental input) akan
tergantung pada dimensi yang lain, yakni dimensi proses.
Proses (processes). Dimensi yang dimaksud di sini adalah proses penyelenggaraan
pendidikan, terutama adalah proses belajar mengajar di dalam kelas. Dimensi ini
meliputi: (a) waktu yang benar-benar digunakan dalam proses pembelajaran (time on task), (b) metode mengajar yang
digunakan, (c) media yang dipakai, (d) penilaian yang digunakan untuk menilai
proses pembelajaran, dan (e) besarnya siswa dalam setiap kelas (class size).
Konteks (context). Dimensi ini sesungguhnya lebih banyak berasal
dari masukan instrumental, yang berasal dari faktor-faktor ekstern sekolah.
Masuk dalam dimensi ini misalnya adalah (a) kondisi sosial-ekonomi masyarakat,
(b) faktor sosial-budaya dan keagamaan, (c) infrastruktur dan sumber daya yang
tersedia dalam masyarakat, (d) persaingan profesi guru dalam bursa tenaga
kerja, (e) tata kelola pemerintahan, dan strategi manajemen pemerintahan, (f)
semangat dan nilai-nilai filosofi yang dianut guru dan siswa, (g) efek dari
pertemanan sebaya, (h) dukungan orangtua siwa dan masyarakat, (h) standar
nasional yang ditetapkan, (i) harapan masyarakat, (j) permintaan pasar tenaga
kerja, dan (k) globalisasi.
Hasil pendidikan (outcomes). Hasil
pendidikan terkait dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan filosofi pendidikan yang telah
ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hasil pendidikan harus diukur dari tujuan
tersebut, yang bukan hanya kecerdasan intelektual semata-mata, tetapi
kecerdasan komprehensif. Dalam hal ini, hasil pendidikan terutama meliputi
kemampuan baca-tulis-hitung (literacy,
numeracy) dan kecakapan hidup (life
skills) untuk jenjang pendidikan dasar. Selain itu, pada jenjang pendidikan
menengah, yang hasil pendidikan adalah kemampuan akademis, sikap, nilai-nilai,
kecerdasan emosional, sosial, dan seni, serta kesiapan untuk terjun dalam pasar
kerja amat diperlukan pada semua jenis dan satuan pendidikan, khususnya
pendidikan menengah kejuruan.
Pertemuan VI: Hak Azasi
Manusia Untuk Memperoleh Pendidikan
Hak azasi manusia merupakan hak yang melekat pada
setiap individu manusia. Hak azasi itu meliputi hak azasi dalam berbagai
bidang, politik, ekonomi, budaya, dan sosial, termasuk di dalamnya adalah hak
azasi dalam bidang pendidikan.
”Everyone has the right to
education ... Education shall be directed to the full development of human
personality and to strengthening of respect for human rights and fundamental
freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all
nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the
United Nations for the maintenance of peace” (art. 26 – Universal Declaration of
Human Rights)
Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan
diarahkan menuju pengembangan personalitas kemanusiaan secara penuh dan
memperkuat penghargaan terhadap kebebasan fundamental dan hak azasi manusia.
Pendidikan juga harus meningkatkan pemahaman, toleransi dan persahabatan antara
semua bangsa, kelompok agama dan ras, dan mendorong berbagai kegiatan PBB untuk
memelihara perdamaian (Pasal 26 Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia).
Berdasarkan Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia tersebut, setiap orang,
baik laki-laki maupun wanita, harus memiliki akses untuk memperoleh pendidikan.
Oleh karena itu, dalam pendidikan tidak boleh terjadi adanya bias gender. Dengan kata lain pemerataan pendidikan
dasar yang bermutu merupakan hak azasi setiap orang. Tidak boleh ada
diskriminasi untuk memperoleh mutu layanan pendidikan bagi semua warga negara.
Di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah
diratifikasi Pemerintah Indoensia berdasarkan Keppres Nomor 26 Tahun 1990, ada
empat hak anak yang harus diberikan kepada anak, yaitu:
1. Hak untuk bertahan hidup (right for survival);
2. Hak
perlindungan (right for protection);
3. Hak
berpartisipasi (right for participation);
dan
4. Hak tumbuh
kembang (right for development)
Dalam dokumen tentang visi, misi, dan program yang harus diserahkan
sebagai calon presiden dan wakil presiden tahun 2004 – 2009, Susilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla
menyebutkan sepuluh hak dasar rakyat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.
Hak
rakyat untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan;
2.
Hak
rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum;
3.
Hak
rakyat untuk memperoleh rasa aman;
4.
Hak
rakyat untuk memiliki akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan)
yang terjangkau;
5.
Hak rakyat untuk memperoleh akses atas
kebutuhan pendidikan;
6.
Hak
rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan;
7.
Hak
rakyat untuk memperoleh keadilan;
8.
Hak
rakyat untuk berpartisipasi dalam politik dan perubahan;
9.
Hak
rakyat untuk berinovasi; dan
10. Hak rakyat untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Agar
hak-hak dasar rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan, Susilo
Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla mengajukan beberapa agenda dan program
peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas, yaitu:
1.
Meningkatkan
pelaksanaan wajib belajar 9 tahun;
2.
Memberikan
akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat
terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang
tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun
masyarakat penyandang cacat;
3.
Meningkatkan
penyediaan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan ataupun pendidikan
nonformal yang bermutu;
4.
Meningkatkan
penyediaan dan pemerataan sarana-sarana pendidikan dan tenaga pendidik;
5.
Meningkatkan
kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik;
6.
Meningkatkan
kesejahteraan tenaga pendidik agar lebih mampu mengembangkan kompetensinya;
7.
Menyempurnakan
manajemen pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
perbaikan mutu pendidikan;
8.
Meningkatkan
kualitas kurikulum dan pelaksanaannya yang bertujuan membentuk karakter dan
kecakapan hidup, sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah
kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia produktif.
Pertemuan VII:
Pilar-pilar Pendidikan
UNESCO (United
Nation for Educational, Scientific, and Cultural Organization) mengingatkan
tentang Empat Pilar Pendidikan, yaitu:
1.
Learning to know;
2.
Learning to do;
3.
Learning to be, dan
4.
Learning how to live
together.
Empat pilar pendidikan tersebut memberikan
indikasi bahwa hasil pendidikan dewasa ini diarahkan untuk dapat menghasilkan
manusia yang memiliki ciri-ciri manusia paripurna sesuai dengan tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Pertama, learning to know. Dalam
pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya hanya sebatas untuk mengetahui.
Belajar ini termasuk dalam kategori sebagai belajar pada tingkat yang rendah,
yakni belajar yang lebih menekankan pada ranah kognitif.
Kedua,
learning to do. Dalam pilar ini, belajar dimaknai
sebagai upaya untuk membuat peserta didik bukan hanya mengetahui, tetapi lebih
kepada dapat melakukan atau mengerjakan kegiatan tertentu. Fokus pembelajaran
dalam pilar ini lebih memfokuskan pada ranah psikomotorik.
Ketiga,
learning to be. Dalam pilar ketiga ini, belajar
dimaknai sebagai upaya untuk menjadikan peserta didik sebagai dirinya sendiri.
Belajar dalam konteks ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan
potensi peserta didik, sesuai dengan minat dan bakatnya atau tipe-tipe
kecerdasannya (types of intelligence).
Howard Gardner menyebutkan ada delapan tipe kecerdasan, yang biasa disingkat SLIM n BIL atau:
1. spatial
atau keruangan;
2. language
atau bahasa;
3. interpersonal
atau hubungan social;
4. music
atau musik;
5. naturalist
atau cinta alam;
6. bodily kinesthetics atau olah raga atau
gerak badan,
7. intrapersonal atau melihat diri sendiri,
dan
8. logical mathematics atau logis
matematis.
Keempat, learning how to live together. Pilar keempat ini memaknai belajar sebagai
upaya agar peserta didik dapat hidup bersama dengan
sesamanya secara damai. Dikaitkan dengan tipe-tipe kecerdasan, maka pilar
keempat ini berupaya untuk menjadikan peserta didik memiliki kecerdasan sosial
(social intelligence).
Peringatan UNESCO yang sangat merdu ini
menyadarkan kita bahwa proses belajar mengajar di dalam kelas bukan hanya
diperlukan agar peserta didik dapat memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya
semata-mata, tetapi harus lebih banyak memperoleh pengalaman, diberikan kesempatan
agar pada akhirnya dapat melakukan atau mengerjakan sendiri. Dengan proses
seperti itu, peserta didik dapat menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensi
bakat dan minat yang mereka miliki. Di samping itu, yang tidak kalah penting
adalah agar peserta didik mampu untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang
semakin majemuk.
Peringatan UNESCO tersebut juga memberikan
penegasan bahwa proses belajar mengajar tidak hanya mementingkan hasil nya ---
apalagi hanya dalam bidang akademis ---, tetapi justru yang lebih penting
adalah prosesnya.
Pertemuan VIII: UTS
Dalam pertemuan
V ini, mahasiswa akan menjawab menjawab soal-soal berikut.
Bentuk
True-False (B/S)
1.
Education is preparation for life; education is not a life itself. Demikian John Dewey menjelaskan makna pendidikan dalam kehidupan kita
(B/S)
2.
Manusia adalah mahluk
pembelajar (B/S)
3.
Manusia
dapat dididik dan dapat mendidik (B/S)
4.
Manusia
lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan setan, karena setan dibuat dari
api, sedang manusia hanya dibuat dari tanah (B/S)
5.
Menurut
Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD), kualitas pendidikan terbaik di dunia adalah negara
Amerika Serikat (B/S)
6.
Orientasi pendidikan kita
dewasa ini masih menitikberatkan pada hasil daripada prosesnya (B/S)
7.
Pendidikan antara lain dapat diupayakan
melalui habit formation (B/S)
8.
Pendidikan berlangsung
sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai ke liang lahat (B/S)
9.
Pendidikan dapat diupayakan
melalui role model (B/S)
10.
Pendidikan dapat diupayakan
melalui teaching and learning process
(B/S)
11.
Pendidikan formal merupakan
pendidikan yang berlangsung pada lembaga pendidikan sekolah (B/S)
12.
Pendidikan informal merupakan
pendidikan yang berlangsung dalam lembaga kursus atau yang berlangsung dalam
masyarakat (B/S)
13.
Jalur pendidikan meliputi
pendidikan formal, nonformal, dan informal (B/S)
14.
Jenjang pendidikan meliputi SD,
SMP, SMA (B/S)
15.
Jenis pendidikan meliputi
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (B/S)
16.
Satuan pendidikan meliputi
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan pendidikan kedinasan (B/S)
17.
Pendidikan merupakan proses transmission of social and cultural values
and norms (B/S)
18.
Pendidikan nonformal merupakan
pendidikan yang berlangsung dalam keluarga (B/S)
19.
Pendidikan sama dengan
pengajaran (B/S)
20.
Pengajaran merupakan proses transfer of knowledge and skills (B/S)
21.
Pengertian pengajaran jauh
lebih luas dibandingkan dengan pengertian pendidikan (B/S)
22.
Pendidikan informal dikenal
dengan pendidikan sekolah (B/S)
23. Pendidikan merupakan proses
transformasi budaya (B/S)
24. Makna pengajaran jauh lebih luas
dari makna pendidikan (B/S)
25. Kebudayaan adalah produk
masyarakat (B/S)
Bentuk Short Essay Test atau Uraian Singkat
1.
Sebut
dan jelaskan empat pilar pendidikan menurut UNESCO.
2.
Sebut
dan jelaslah empat era sejarah peradaban manusia.
Pertemuan IX:
Teori Pendidikan: Nativisme
Telah cukup banyak dibicarakan
hal-ihwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan hekikat kehidupan manusia,
maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses pendidikan.
Pada saat manusia mengalami tahap
perkembangan, baik secara fisik maupun rohaninya dalam proses pendidikan,
muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu sendiri,
atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua faktor itu secara
bersama-sama. Dari faktor yang pertama timbullah teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari
kata ”nativus” artinya pembawaan.
Teori nativisme dikenal juga dikenal dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan dan intervensi lain di luar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya dan tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan itu upaya itu justru akan dapat merusak perkembangan anak. Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Teori ini dipelopori oleh
Schopenhauer, nama lengkapnya Arthur Schopenhauer (February
22, 1788 – September
21, 1860), seorang ahli filsafat bangsa
Jerman. Dalam salah satu tulisannya Schopenhauer menjelaskan bahwa kebanyakan
pembelajaran adalah bersifat superfisial.
Of human knowledge as a whole and in every
branch of it, by far the largest part exists nowhere but on paper -- I mean, in
books, that paper memory of mankind. Only a small part of it is at any given
period really active in the minds of particular persons. This is due, in the
main, to the brevity and uncertainty of life; but it also comes from the fact
that men are lazy and bent on pleasure. Every generation attains, on its hasty
passage through existence, just so much of human knowledge as it needs, and
then soon disappears. Most men of learning are very superficial. Then follows a
new generation, full of hope, but ignorant, and with everything to learn from
the beginning. It seizes, in its turn, just so much as it can grasp or find
useful on its brief journey and then too goes its way. How badly it would fare
with human knowledge if it were not for the art of writing and printing! This
it is that makes libraries the only sure and lasting memory of the human race,
for its individual members have all of them but a very limited and imperfect
one. Hence most men of learning as are loth to have their knowledge examined as
merchants to lay bare their books.
Pandangan Schopenhauer didukung oleh Prof. Heymans
dan sejalan pula dengan pandangan J.J. Rousseau, penganut teori
naturalisme.
Jean-Jacques
Rousseau, (June 28, 1712 – July 2, 1778), lahir di Geneva,
Switzerland,
seorang ahli filsafat politik.
|
||||||||
|
||||||||
|
|
|||||||
Rousseau set out his views on education in
Émile, a semi-fictitious work
detailing the growth of a young boy of that name, presided over by Rousseau
himself. He brings him up in the countryside, where, he believes, humans are
most naturally suited, rather than in a city, where we only learn bad habits,
both physical and intellectual. The aim of education, Rousseau says, is to
learn how to live righteously. This is accomplished by following a guardian who
can guide his pupil through various contrived learning experiences.
The growth of a child is divided into
three sections, first to the age of about 12, when calculating and complex
thinking is not possible, and children, according to his deepest conviction,
live like animals. Second, from 12 to about 16, when reason starts to develop,
and finally from the age of 16 onwards, when the child develops into an adult.
During this stage, the young adult should learn a skill, such as carpentry.
This trade is offered because it requires creativity and thought, but would not
compromise one's morals. It is at this age that Emile finds a young woman to
complement him.
The book is based on Rousseau's ideals of
healthy living. The boy must work out how to follow his social instincts and be
protected from the vices of urban individualism and self-consciousness.
Rousseau's account of the education of
Emile is, however, not an account of education of a gender-neutral
"child." The education he proposes for Sophie, the young woman Emile
is destined to marry, is importantly different to that of Emile. Sophie (as a
representative of ideal womanhood) is educated to be governed (by her husband)
while Emile (as a representative of the ideal man) is educated to be
self-governing. This is not an accidental feature of Rousseau's educational and
political philosophy; it is essential to his account of the distinction between
private, personal relations and the public world of political relations. The
private sphere as Rousseau imagines it depends on the (naturalized)
subordination of women in order for both it and the public political sphere
(upon which it depends) to function as Rousseau imagines it could and should.
The
education proposed in Émile has been criticized for being
impractical, and the topic itself (the education of children) has led the text
to be ignored by many studying Rousseau’s more “political” works. However, of
particular interest to anyone interested in Rousseau’s intentions in Émile is a letter he wrote to his friend
Cramer on October 13, 1764. In the letter, Rousseau answers the criticism of
impracticability: “You say quite correctly that it is impossible to produce an
Emile. But I cannot believe that you take the book that carries this name for a
true treatise on education. It is rather a philosophical work on this principle
advanced by the author in other writings that man is naturally good”.
Pertemuan X:
Teori Pendidikan: Empirisme
Teori empirisme berlawanan dengan teori
nativisme. Teori empirisme dikenal juga sebagai teori optimisme. Teori ini juga
dikenal sebagai teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan
dalam keadaan sebagai kertas putih. Dalam perjalanan kehidupannya, kertas putih
itu akan akan ”dipenuhi dengan lukisan” dari semua pengalam dan pengaruh dari
luar yang akan mempengaruhi pertumbuhkembangan manusia. Dengan demikian, teori
empirisme berpandangan bahwa pertumbuhkembangan manusia ditentukan oleh faktor
pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan.
Tokoh yang mendukung teori empirisme antara
lain adalah John Locke dan David Hume. Dalam hal ini, David Hume amat dikenal dengan teori tabula rasa. Teori ini
memperoleh dukungan dari teori stimulus-respon atau teori behaviorisme yang
dipelopori oleh Pavlov (Rusia) dan Watson (Amerika Serikat). Teori ini
mengabaikan sama sekali aspek bakat dan pembawaan yang dimiliki peserta didik,
potensi kecerdasan peserta didik.
Teori ini menyarankan kepada pemerintah dan masyarakat agar menyediakan
lingkungan belajar yang kondusif untuk peserta didik. Penyediaan fasilitas belajar
yang lengkap dan memadai akan memberikan sebanyak mungkin pengalaman belajar
peserta didik.
Pertemuan XI: Teori
Pendidikan: Konvergensi
Kedua teori tersebut
kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan, yang kemudian dikenal dengan teori
konvergensi.
Penggagas teori ini antara lain adalah William Stern.Teori ini berpendapat
bahwa selain manusia itu memang telah dibekali potensi dasar berupa bakat dan
kemampuan, tetapi bakat dan kemampuan itu akan dipengaruhi oleh ruang (space) dan waktu (time). Dalam hal ini, William Stern percaya
bahwa sejak lahir manusia telah memiliki potensi. Jika potensi ini diibaratkan
dengan bibit unggul, maka bibit unggul itu akan akan tumbuh secara optimal jika
bibit unggul itu ditanam di tempat persemaian yang subur, dan memperoleh
rawatan secara intensif. Teori ini meyakini bahwa bakat dan pembawaan yang
bagus akan berkembang secara optimal apabila diberikan rangsangan faktor dari
luar berupa pemberian pengalaman belajar melalui proses pendidikan, pelatihan,
dan pembimbingan.
Teori “dasar”
dan “ajar” menurut Ki Hajar Dewantara pada hakikatnya sama dengan teori
konvergensi. Makna dasar tidak lain adalah bakat dan kemampuan. Sementara ajar
pada hakikatnya adalah proses mempengaruhi peserta didik, baik dari lingkungan
maupun proses pembelajaran dan pengajaran di lembaga pendidikan, baik
pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Proses pendidikan menurut teori
ini
Pertemuan XII: Lingkungan
Pendidikan
Lingkungan pendidikan dikenal juga sebagai miliu pendidikan. Dalam teori empirisme,
miliu pendidikan dipercaya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
keberhasilan proses pendidikan. Sementara teori nativisme menafikan pengaruh
lingkungan pendidikan, karena bakat dan pembawaan peserta didik dinilai
mempunyai pengaruh lebih dominan terhadap proses pertumbuhkembangan manusia.
Bagaimana pun juga, teori konvergensi sangat mengakui pengaruh bakat dan
pembawaan seseorang. Namun bukan satu-satunya. Pengaruh bakat dan kemampuan
akan bertemu denga pengaruh dari lingkungan belajar, intervensi berupa
pendidikan, pelatiha, pembimbingan. Pendek kata pertumuhkembangan manusia
dipengaruhi secara bersama-sama antara keduanya, yakni bakat dan pembawaan
serta pengaruh lingkungan pendidikan.
Lingkungan pendidikan antara lain berupa: (1) keadaan alam, misalnya
pinggir pantai, daerah pedalaman, pegunungan; (2) kondisi sosial ekonomi
masyarakat, misanya keadaan sosial ekonomi yang rendah, mata pencaharian
penduduk dalam bidang pertanian, perkebunan, industri, perdagangan, jasa, dan
sebagainya.
Lingkungan pendidikan pada hakikatnya dapat menjadi sumber pembelajaran.
Teori pembelajaran konstruktivisme mengajarkan kepada kita bahwa peserta didik
harus dapat membangun pemahaman sendiri tentang konsep yang diambil dari
sumber-sumber pembelajaran yang berasal dari lingkungan sekitar siswa.
Proses pendidikan seharusnya dapat menjadi agen pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat, misalnya dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat
agar warga masyarakatnya lebih hemat, gemar menabung, memiliki jiwa demokratis,
dan menghormati hak azasi manusia, cinta damai dan menjunjung nilai-nilai
kebersamaan, menanamkan semangat kerja keras, semangat antikorupsi, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Pertemuan XIII:
Nilai-nilai Sosial Budaya
Di dunia ini terdapat negara yang maju, di samping negara yang miskin.
Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah faktor apa yang menyebabkan
negara itu telah berkembang menjadi negara yang maju, sementara yang lain
tidak? Apakah karena faktor (1) umur negara itu, (2) sumber daya alamnya, atau
(3) faktor rasnya.
Ternyata, masyarakat negara yang maju memiliki nilai-nilai sosial budaya
yang dijunjung tinggi dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu adalah sebagai berikut.
1.
Etika, sebagai
prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
2.
Kejujuran dan
integritas
3.
Bertanggung jawab
4.
Hormat pada
aturan & hukum masyarakat
5.
Hormat pada hak orang/warga lain
6.
Cinta pada
pekerjaan
7.
Berusaha keras
untuk menabung & investasi
8.
Mau bekerja keras
9.
Tepat waktu
Setiap
daerah atau tempat memiliki nilai-nilai social budaya yang berbeda-beda.
Penduduk suku terasing, sebagai contoh, ternyata telah memiliki nilai-nilai
social budaya yang cukup akrab dengan alam. Suku Kubu di Sumatera, konon
dikenal memiliki nilai-nilai social budaya yang sangat bermanfaat untuk
melindungi alam dari kerusakan oleh tangan-tangan manusia.
Negara
Kesatuan Republik Indonsia (NKRI) dikenal menjadi negara nasional (national
state) yang memiliki lebih dari 200-an suku bangsa dengan bahasa daerahnya
masing-masing. Di Kabupaten Ende, Provinsi Nusatenggara Timur, sebagai contoh,
terdapat dua suku bangsa, yakni suku bangsa Ende dan suku bangsa Lao, dengan
bahasa daerahnya yang berbeda. Ja’o ata Ende
(saya orang Ende) adalah kalimat dalam Bahasa Ende.
Di daerah suku Minang, sebagai contoh yang lain, dikenal dengan nilai-nilai
sosial yang masih kuat dipegang oleh masyarakat suku ini, yakni “hidup bersandi
sarak, sarak bersandi kitabullah” atau hidup bersendi hukum sarak, sarak
bersendi kitabullah. Masih banyak nilai-nilai sosial budaya yang perlu digali
kembali untuk dinilai mana-mana yang masih selaras dengan perkembangan zaman.
Untuk ini peran generasi muda perlu dibangkitkan untuk mampu memberikan
penilaian terhadap nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu.
Pancasila dikenal sebagai kristalisasi butir-butir nilai sosial budaya,
ideologi dan politik Bangsa Indonesia. Dalam sejarah diriwayatkan bahwa
butir-butir nilai Pancasila itu telah digali dari nilai-nilai yang terdapat
dalam bumi pertiwi kita sendiri. Ketika Bung Karno dibuang ke Ende oleh
Belanda, konon Bung Karno menyempatkan untuk melakukan perenungan tentang
nilai-nilai Pancasila itu di bawah pohon Sukun. Saat ini tempat itu dinilai
sebagai situs sejarah yang masih dipelihara oleh rakyat Ende.
Pertemuan XIV: Kebudayaan
dan Teknologi
Menurut Koentjaraningrat, teknologi merupakan salah
satu faset dari 7 (tujuh) faset kebudayaan. Dalam pertemuan ini akan
dibicarakan tentang pengertian, wujud, dan faset kebudayaan atau ranah
kebudayaan.
Budaya atau kebudayaan berasal dari Bahasa
Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan atau dihasilkan dari budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Bahasa Latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan.
Dalam hal ini kebudayaan diartikan sebagai usaha mengolah tanah atau bertani. Culture sering diterjemahkan dengan
"kultur" dalam bahasa Indonesia
(www.id.wikipedia.org). Misalnya
monokultur artinya pertanian dengan satu macam jenis tanaman. Sebaliknya,
polikultur artinya pertanian dengan beberapa macam tanaman,
Para ahli antropologi telah melahirkan beberapa definisi
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
E. B. Tylor (1871) mendefinisikan
kebudayaan sebagai “that complex whole
which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other
capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Dengan
kata lain kebudayaan merupakan satu keseluruhan yang kompleks, termasuk di
dalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan banyak
kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai warga masyarakat.
E Adamson Hoebel, dalam bukunya An
Anthropology: The Study of Man,
menyatakan bahwa:
“The
integrated system of learned behavior pattern which are characteristic of the
members of a society and which are not the result of biological inheritance
….culture is not noninstinctive … [culture] is wholly the result of social
invention and is transmitted and maintatined solely through community
communication and learning”.
Sumber:
www.id.wikpedia.org
|
Kebudayaan sangat erat kaitanyya dengan masyarakat
(society). Kebudayaan adalah produk
dari masyarakat. Masyarakat telah melahirkan kebudayaannya sendiri, yang unik,
yang berbeda dari kebudayaan yang telah dihasilkan kelompok masyarakat lain. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu
yang turun temurun yang telah dilahirkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sedang Andreas
Eppink menjelaskan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian, yang meliputi tata nilai,
norma,
ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, yang merupakan keseluruhan kristaliasasi intelektual dan artistik
yang menjadi ciri khas utama suatu masyarakat (www.id.wipedia.org).
Selo
Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni,
dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian,
setiap masyarakat akan melahirkan satu ciri kebudayaan yang unik, yang berbeda
dengan kebudayaan yang lahir dari masyarakat di daerh yang lain. Keunikan
tersebut menjadi karakteristik kebudayaan tertentu, dan menjadi esensi pembeda
dengan kebudayaan lannya
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau
unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville J. Herskovits menyebutkan
kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
1. alat-alat teknologi;
2. sistem ekonomi;
3. keluarga;
dan
4. kekuasaan politik.
Sementara Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4
unsur pokok yang meliputi:
1. sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya;
2. organisasi ekonomi;
3. alat-alat dan lembaga-lembaga
atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan
utama), dan
4. organisasi kekuatan (politik).
Sementara
Koentjoroningrat menyebutkan adanya 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang
disebut sebagai faset-faset kebudayaan atau “mata
bajak” kebudayaan, yakni:
1. sistem kepercayaan;
2. sistem kekerabatan
dan organisasi sosial;
3. sistem
mata pencarian hidup;
4. bahasa;
5. sistem ilmu pengetahuan;
6. kesenian, dan
7. peralatan dan perlengkapan
hidup (teknologi)
Pertemuan XV:
Kritik Terhadap Pendidikan
Sejarah telah mengubah dunia demikian cepat.
Pendidikan sebagai satu pranata sosial telah berubah menjadi sistem
persekolahaan yang dinilai semakin terlepas dari akar-akar nilai sosial budaya
dalam masyarakat. Beberapa kritik terhadap sistem persekolahan dapat dicatat
sebagai berikut;
1.
Penyempitan
arti pendidikan menjadi persekolahan. Ivan Illich memberikan kritik dalam
bukunya bertajuk ”Dschooling society’.
Tokoh pendidikan luar sekolah ini memberikan kritik bahwa sekolah telah berubah
menjadi dogma-dogma keagamaan, sebagaimana kutbah yang diberikan di
tempat-tempat ibadah.
2.
Terkait
dengan itu, bahkan muncul kritik bahwa sekolah telah menjadi semacam ”penjara”
bagi anak-anak. Anak-anak merasa kehilangan masa untuk dapat
bersenang-senangnya sebagai anak-anak. Sekolah tidak lagi sebagai masa untuk
bersenang-senang sebagaimana makna awal yang sebenarnya pada arti kata sekolah,
yakni ”escole” yang artinya ”the age of leasure”.
3.
Kritik
paling populer dewasa ini adalah soal liberalisasi pendidikan. Pendidikan hanya
dapat dinikmati oleh orang-orang kaya yang banyak duitnya. Sekolah yang
berkualitas tinggi biayanya menjulang langit. Sekolah seperti itu didirikan
oleh para korporat atau milyuner. Bahkan sekolah asing telah bebas dibuka di
negara yang masih sedang berkembang. Itulah sebabnya terjadilah proses
marginalisasi (peminggiran) anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Anak-anak
dari keluarga tidak mampu menjadi pengemis di jalan-jalan raya, pengamen,
pemulung, dan bahkan pekerja anak yang diperas tenaganya oleh pemilik modal di
suatu industri.
4.
Koran
Sindo tanggal 20 Mei 2008 telah memuat suara mahasiswa dengan tajuk ”Anak Tiri
Bernama Pendidikan” yang ditulis oleh Lavinda, seorang mahasiswi jurnalistik
Fikom Unpad. Sungguh, satu tulisan yang seharusnya dapat mengetuk nurani para
pemimpin di tanah air. Tulisan ini sebenarnya sejalan dengan tulisan Sayidiman
Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, yang menyatakan bahwa masalah
mendasar pendidikan di negeri ini adalah (1) rendahnya komitmen para pemimpin terhadap
pendidikan, (2) rendahnya anggaran pendidikan. Mahasiswa ini mengingatkan kita
semua tentang kata-kata bijak dari Bapak Pendidikan Bangsa Vietnam, Ho Chi
Minh, yang menyatakan bahwa ”No teacher,
no education. No education, no economic and social development”. Tidak ada guru, tidak ada pendidikan. Tidak
ada pendidikan, tidak ada pembangunan ekonomi dan sosial.
5.
Masih
banyak kritik terhadap pendidikan yang sebenarnya dapat ditulis dalam modul
ini, khususnya terhadap pendidikan di tanah air tercinta. Sebagai mahasiswa,
diharapkan dapat lebih berfikir kritis terhadap semua permasalahan yang
dihadapi dalam masyarakat, termasuk masalah pendidikan. Cobalah Anda mengamati kondisi pendidikan di
masyarakat, dan tuangkanlah dalam sebuah tulisan. Cobalah mengirimkan tulisan
Anda ke media massa.
Pertemuan XVI: UAS dan
Tugas Mandiri
Tugas Mandiri:
1.
Berikan komentar singkat terhadap beberapa
quotations berikut:
a.
Education is seen as a way to empower people, improve their quality of
life and increase their capacity to participate in the decision-making
processes leading to social, cultural and economic policies (UNESCO)
b.
Education is too important to
be left only to government (US
Secretary of Education)
c.
Education should allow children
to reach their fullest potential in terms of cognitive, emotional and creative
capacities (EFA Global Monitoring Report 2005, hal 30)
2.
Cari dari internet atau dari
buku yang Anda baca, miminal lima
quotations tentang pendidikan dan
kehidupan manusia dan kemudian tulis komentar Anda minimal dalam satu halaman
kertas berukuran A4.
3.
Tulis sebuah artikel pendidikan
bertajuk bebas berupa karangan sendiri, dengan tema yang sesuai dengan materi
mata kuliah ini.
4.
Carilah
artikel tentang pendidikan dari www.google.com, minimal tiga artikel, berilah komentar
masing-masing setengah halaman ukuran A4.
5.
Lakukan
wawancara kecil dengan seorang guru. Tanyakan kesan dan pesan guru kepada Anda.
Tulislah minimal dalam 1 (satu) halaman A4.
6.
Buatlah
kliping tentang artikel dari surat kabar, minimal 2 (dua) artikel, dan
komentari dalam satu halaman.
Pilihlah salah satu dari beberapa
alternatif tugas tersebut. Nilai tugas mandiri ini mempunyai bobot 1, dan akan
digabung nilai-nilai dari tes formatif (bobot 2) dan nilai UAS (bobot 3) untuk
menentukan nilai akhir semester Anda. Lakukan tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab.
4.3. Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan
Tes Formatif Pertemuan
II: Hakikat Manusia dan Kehidupannya
Tes formatif dalam bentuk esai.
1.
Manusia
sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya. Jelaskan dengan beberapa contoh yang
membuktikan pernyataan tersebut.
2.
Jelaskan
perbedaan manusia dengan binatang!
3.
Dapatkah
binatang itu dididik? Jelaskan pendapat Anda.
4.
Apa
yang dapat dipetik dari cerita Kama dan Kamala.
5.
Apa
yang dimaksud manusia disebut sebagai mahluk pembelajar!
Tes Formatif Pertemuan
III: Hakikat Pendidikan dan Kehidupan Manusia
1.
Jelaskan
pengertian pendidikan atau pedagogi secara etimologis.
2.
Jelaskan
pengertian pendidikan menurut UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3.
Jelaskan
pendapat Dewey yang menyatakan pendidikan adalah proses sosial, proses
kehidupan!
4.
Jelaskan
apa pernyataan Kaisar Jepang ketika mendapati negaranya hancur lebur karena bom
nuklir dalam Perang Dunia II.
5.
Panggung
sejarah umat manusia ini telah melalui empat fase. Sebutkan dan jelaskan.
Tes Formatif Pertemuan
IV: Pendidikan dan Kebudayaan
1.
Fuad
Hassan menulis bahwa pendidikan adalah pembudayaan. Coba jelaskan apa
maksudnya.
2.
Sebut
dan jelaskan tiga proses pendidikan dalam kehidupan manusia.
3.
Apakah yang dimaksud lifelong education. Jelaskan kaitannya dengan pandangan Agama
Islam tentang pendidikan.
4.
Apakah
yang dimaksud animal educandum dan animal educandus. Siapakah yang
menyakatan demikian?
5.
Pendidikan bukankah semata-mata
sebagai ”transfer of knowledge”
tetapi lebih sebagai “transmission of
social and culture values and norms”. Jelaskan maknanya.
Tes Formatif Pertemuan V:
Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
1.
Tuhan
telah menciptakan jagat raya ini sebagai suatu sistem. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri!
2.
Jelaskan
pengertian sistem pendidikan nasional menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
3.
Sebutkan
dan sedikit jelaskan komponen utama dalam sistem pendidikan nasional.
4.
Sebutkan
komponen apa yang paling penting! Jelaskan alasan Anda.
5.
Komponen
apa saja yang menurut Anda masih kurang mendapatkan perhatian? Jelaskan.
Tes Formatif Pertemuan VI: Hak Azasi
Manusia Untuk Memperoleh Pendidikan
1.
Terjemahkan
dokumen PBB tentang hak azasi manusia dalam bidang pendidikan sebagai berikut.
”Everyone has the right to
education ... Education shall be directed to the full
development of human personality and to strengthening of respect for human
rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and
friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the
activities of the United Nations for the maintenance of peace” (art. 26 –
Universal Declaration of Human Rights)
2.
Sebutkan
empat hak anak yang harus diberikan kepada anak menurut Konvensi Hak Anak
yang telah diratifikasi dalam Keppres Nomor 26 Tahun 1990!
Tes Formatif Pertemuan VII: Pilar-pilar Pendidikan
1.
Sebut
dan jelaskan empat pilar pendidikan menurut UNESCO!
2.
Sebutkan
delapan tipe kecerdasan ganda menurut Howard Gardner. Coba renungkan diri Anda.
Kecerdasan apakah yang sesungguhnya Anda miliki?
Tes Formatif Pertemuan VIII: UTS (Tes II)
1.
Manusia dapat dididik dan dapat
mendidik. Binatang demikian juga (B/S)
2.
Manusia sebagai mahluk
pembelajar (B/S)
3.
Manusia harus dididik oleh
manusia dan dengan cara manusia (B/S)
4.
Istilah pedagogi sama dengan
pendidikan dalam Bahasa Indonesia, dan sama dengan education dalam Bahasa Inggris (B/S)
5.
Selaki waktu, pendidikan atas
manusia dapat dilakukan dengan cara pemaksaan (B/S)
6.
Kaisar Jepang sangat menghargai
keberadaan guru untuk membangun bangsa Jepang di masa depan (B/S)
7.
Pendidikan
merupakan proses sosial, proses kehidupan itu sendiri. Demikian pendapat Kant
(B/S)
8.
Pendidikan
harus diberikan kepada anak sesuai dengan zamannya. Demikian pandangan Nabi
Muhammad SAW (B/S)
9.
Secara
keseluruhan, dunia dewasa ini kita berada pada era food gathering (B/S)
10.
Ungkapan
gold, glory, dan gospel lahir pada era industrial revolution (B/S)
11.
Secara
etimologis berasal dari kata ”paes” yang artinya membimbing, dan ”gogos” yang
berarti anak (B/S)
12.
Pendidikan
adalah pembudayaan. Demikian
menurut Fuad Hassan (B/S)
13.
Lifelong education artinya pendidikan
anak usia dini (B/S)
14.
Pendidikan semata-mata hanya
dapat diartikan sebagai pemindahan ilmu pengetahuan dan teknologi (B/S)
15.
Pendidikan merupakan
transmission of social dan culture values and norms (B/S).
16.
Sesungguhnya semua ciptaan ini
dalam bentuk sistem (B/S).
17.
Pendidikan diciptakan sebagai
suatu sistem (B/S)
18.
Guru
merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting (B/S)
19.
Proses
pendidikan hanya dapat terjadi di gedung sekolah yang lengkap fasilitas
pendidikannya (B/S)
20.
Semua
manusia memiliki hak hidup (B/S)
21.
Pelaksanaan
hak-hak azasi mansuia dapat melanggar hak azasi orang lain (B/S)
22.
Memperoleh
pendidikan merupakan salah satu hak azasi menusia (B/S)
23.
Learning to know artinya pembelajaran
untuk memperoleh pengetahuan (B/S)
24.
Learning to live together pembelajaran
untuk memupuk diri menjadi dirinya sendiri (B/S)
25.
Learning to do artinya pembelajaran agar
siswa bukan hanya mengetahui teori, tetapi juga dapat memiliki kecakapan
tertentu (B/S)
26.
Kecerdasan bodily kinesthetics perlu dikembangkan untuk memupuk bakat olah
raga (B/S)
27.
Kecerdasan interpersonal diperlukan bagi mereka yang ingin menjadi diplomat
atau menjadi pedagang besar (B/S)
28.
Kecerdasan language perlu dikembangkan bagi mereka yang akan meniti karir
sebagai wartawan atau penulis buku (B/S)
29.
Kecerdasan music perlu dikembangkan bagi mereka yang akan menjadi olahragawan
(B/S)
30.
Kecerdasan logical mathematics perlu dikembangkan bagi mereka yang akan
menekuni karir sebagai ilmuwan (B/S).
Tes Formatif Pertemuan IX: Teori Pendidikan:
Nativisme
1.
Jelaskan pandangan teori
nativisme tentang pertumbuhkembangan manusia dalam kehidupannya.
2.
Sebutkan beberapa tokoh yang
menganut teori nativisme dan bagaimana pendapatnya.
3.
Teori nativisme dikenal juga
dengan teori pesimisme. Mengapa demikian?
4.
Bagaimana
pendapat Anda terhadap teori nativisme tersebut. Berikan beberapa alasannya.
Tes Formatif
Pertemuan X: Teori Pendidikan: Empirisme
1.
Jelaskan
pandangan teori empirisme tentang pertumbuhkembangan manusia dalah
kehidupannya.
2.
Sebutkan
beberapa tokoh penganut teori empirisme dan bagaimana pendapatnya.
3.
Teori
empirisme dikenal juga dengan teori optimisme. Mengapa demikian?
4.
Apa
yang dimaksud dengan teori tabula rasa.
5.
Bagaimana
pendapat Anda tentang teori empirisme. Jelaskan beberapa alasannya.
Tes Formatif Pertemuan
XI: Teori Pendidikan: Konvergensi
1.
Jelaskan
pandangan teori konvergensi tentang pertumbuhkembangan manusia dalam
kehidupannya.
2.
Siapakah
tokoh-tokoh penganut teori konvergensi.
3.
Apa
pendapat Ki Hajar Dewantara tentang teori konvergensi.
4.
Bagaimana
pendapat Anda tentang teori konvergensi. Jelaskan.
5.
Isilah
tabel berikut untuk membedakan secara sekilas tentang tiga teori pendidikan.
Aspek pembeda
|
Nativisme
|
Emipirisme
|
Konvergensi
|
Penemu, atau
tokoh penganut teori pendidikan
|
|
|
|
Inti teorinya
|
|
|
|
Implikasi
terhadap proses pendidikan yang diselenggarakan
|
|
|
|
Tes Formatif Pertemuan XII:
Lingkungan Pendidikan
1.
Apakah
yang dimaksud miliu pendidikan.
2.
Sebutkan
yang miliu pendidikan yang Anda ketahui. Jelaskan.
3.
Daerah
yang terpencil dewasa ini telah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Apa
nasib anak-anak yang berasal dari daerah terpencil seperti itu?
4.
Mengapa
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang SMP Satu Atap (Satap). Apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut?
5.
Lembaga
pendidikan seharusnya dapat menjadi agen (pelaku) pemberdayaan masyarakat.
Bukan malah sebaliknya. Jelaskan.
Tes Formatif Pertemuan
XIII: Nilai-nilai Sosial Budaya
1.
Setiap
masyarakat tertentu memiliki nilai-nilai sosial budaya masing-masing yang
diwariskan secara turun temurun dari nenek moyangnya hingga saat ini. Berikan
contoh nilai-nilai sosial budaya yang ada di daerah Anda.
2.
Berikan
contoh bahwa umur negara, sumber daya alam, dan ras yang tinggal di negara
tersebut tidak dapat menjadi faktor yang signifikan yang mempengaruhi kemajuan
negara tersebut. Berikan beberapa contoh sebagai argumentasi.
3.
Apakah
yang dimaksud “n ach”? Jelaskan.
4.
Sebutkan
beberapa nilai sosial budaya dan teknologi yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan suatu negara.
Tes Formatif Pertemuan XIV:
Kebudayaan dan Teknologi
1.
Jelaskan pengertian etimologis kebudayaan!
2.
Bedakan antara monokultur dengan polikultur!
3.
Jelaskan definisi kebudayaan menurut E.B. Tylor
(1981). Sebutkan unsur-unsur definisinya.
4.
Sebutkan empat komponen kebudayaan menurut Melville
J. Herskovits.
5.
Sebutkan
tujuh mata bajak kebudayaan menurut Koentjoroningrat. Jelaskan masing-masing
faset kebudayaan tersebut.
Tes Formatif Pertemuan
XV: Kritik Terhadap Pendidikan
1.
Apakah
yang dimaksud ”deschooling society” menurut Ivan Illich.
2.
Istilah
sekolah berasal dari akar kata ”escole”. Apakah yang dimaksud ”escole”
tersebut?
6.
”No teacher, no education. No education, no
economic and social development”. Apakah artinya? Siapakah yang menyatakan?
Tes UAS (Pertemuan XVI)
Tes tertulis dalam
bentuk Benas Salah
1.
Seperti
manusia, binatang dapat dididik (B/S).
2.
Biografi
seorang tokoh dapat menjadi pembelajaran bagi kehidupan kita (B/S).
3.
Cerita
Kama dan Kamala menunjukkan bahwa untuk menjadi manusia seutuhnya manusia harus
dididik oleh manusia dan dengan cara manusia (B/S).
4.
Dari
teori nativisme dan teori konvergensi lahirlah teori empirisme (B/S).
5.
Education enables people and societies to be what they can be. Pendidikan membuat manusia dan masyarakat menjadi apa yang mereka
inginkan. Demikian pendapat Bill Richardson (B/S).
6.
Education for all (EFA) artinya
pendidikan untuk semua anak usia sekolah (B/S).
7. Education is a
preparation for life; education is not a life itself. Demikian John Dewey berpesan kepada kita (B/S)
8.
Faset
kebudayaan yang paling mudah diubah adalah teknologi (B/S)
9.
Kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia (B/S).
10.
Keluarga
adalah sebagai ”madrasatul ula”
(B/S).
11.
Keluarga
broken home dapat menjadi miliu
pendidikan yang negatif terhadap pendidikan anak. Demikian implikasi dari teori
empirisme (B/S).
12.
Kerja
keras dan menghargai waktu merupakan beberapa nilai sosial budaya masyarakat
yang maju (B/S).
13.
Korupsi
menjadi musuh besar pembangunan suatu negara (B/S).
14.
Lingkungan
pendidikan pada hakikatnya dapat menjadi sumber pembelajaran (B/S)
15.
Manusia
adalah mahluk pembelajar (B/S)
16.
Manusia
adalah pengemban budaya (culture bearer)
dan sekaligus sebagai pewaris kebudayaan (B/S)
17.
Manusia
dapat dididik dan dilatih. Binatang dapat dilatih saja (B/S).
18.
Manusia
dapat dididik dan mendidik (B/S)
19.
Manusia
lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan setan, karena setan dibuat dari
api, sedang manusia dibuat dari tanah (B/S)
20.
Manusia merupakan animal educancum dan animal educandus (B/S).
21.
Manusia sebagai mahluk
pembelajar (B/S)
22.
Manusia sebagai mahluk yang
tertinggi derajatnya (B/S).
23.
Manusia sebagai mahluk yang
unik. Meski kembar sekalipun keduanya pasti akan berbeda (B/S)
24.
Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),
kualitas pendidikan terbaik di dunia adalah Negara Jepang (B/S)
25.
Miliu atau lingkungan
pendidikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Itulah inti
teori nativisme (B/S).
26.
Nilai sosial budaya masyarakat
di negara yang maju pada umumnya tidak tepat waktu (B/S)
27.
Nilai-nilai sosial budaya dan
pendidikan menjadi faktor kunci apakah yang paling berpengaruh terhadap maju
mundurnya suatu negara (B/S).
28.
Pendidikan antara lain dapat diupayakan
melalui habit formation (B/S)
29.
Pendidikan berlangsung pada
usia sekolah (B/S).
30.
Pendidikan
berlangsung sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai ke liang lahat (B/S)
31.
Pendidikan dapat diupayakan
melalui role model (B/S)
32.
Pendidikan dapat diupayakan
melalui teaching and learning process
(B/S)
33.
Pendidikan formal merupakan
pendidikan yang berlangsung pada lembaga pendidikan sekolah (B/S)
34.
Pendidikan informal merupakan
pendidikan yang berlangsung dalam lembaga kursus atau yang berlangsung dalam
masyarakat (B/S)
35.
Pendidikan meliputi pendidikan
formal, nonformal, dan informal (B/S)
36.
Pendidikan merupakan proses transmission of social and cultural values
and norms (B/S)
37.
Pendidikan merupakan transmisi
budaya dalam masyarakat (B/S).
38.
Pendidikan nonformal merupakan
pendidikan yang berlangsung dalam keluarga (B/S)
39.
Pendidikan sama dengan
pengajaran (B/S)
40.
Pengajaran merupakan proses transfer of knowledge and skills (B/S)
41.
Pengertian pengajaran jauh
lebih luas dari pengertian pendidikan (B/S).
42.
Pengertian pengajaran jauh
lebih luas dibandingkan dengan pengertian pendidikan (B/S).
43.
Penyediaan fasilitas belajar
yang lengkap untuk memberikan sebanyak mungkin pengalaman belajar peserta didik
merupakan kebijakan pendidikan yang dilandasi oleh teori nativisme (B/S).
44.
Peran utama pendidikan adalah
menemukan potensi dasar peserta didik untuk kemudian dikembangkan melalui
proses pendidikan (B/S).
45.
Potensi otak manusia terkait
erat dengan kelahiran kebudayaan dari suatu masyarakat (B/S).
46.
Proses pendidikan dilaksanakan
melalui upaya habit formation, teaching
and learning process, dan role model (B/S).
47.
Proses pendidikan seharusnya
dapat menjadi agen pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (B/S).
48.
Reading habit sebagian besar masyarakat Indonesia
masih rendah dibandingkan dengan masyarakat Jepang (B/S).
49.
Sistem
kepercayaan masyarakat merupakan faset kebudayaan yang paling sulit diubah
(B/S).
50.
Teori
”dasar” dan ”ajar” dari bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara sebenarnya sama
dengan teori nativisme (B/S).
4.4. Umpan Balik
1. Tugas mandiri dan tes yang akan dinilai adalah: (A) tugas
mandiri, (B) tes formatif, (C) UTS (ujian tengah semester), dan (D) UAS (ujian
akhir semester).
2. Bobot A = 1, B = 2, C = 3, dan D = 4
3. Nilai Akhir
Semester adalah (AX1) + (BX2) + (CX3) + (DX4) : 4.
4. Dengan
skala 4, nilai tersebut dapat dipadankan sebagai berikut:
Baik Sekali = 80 – 100
Baik = 70 – 79
Sedang = 60 – 69
Kurang = < 60
5. Referensi
Abdul Latif. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.
Madyo Ekosusilo, dkk. 1987. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Publishing.
Nurani Soyomukti. Pendidikan Berperspektif
Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Ke Implentasi.
Yogyakarta: Hikayat Publishing
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
6. Lampiran
6.1. Lampiran 1: Pendidikan Terbaik Di Dunia
PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIA
Oleh : Andri Aji Saputro
Oleh : Andri Aji Saputro
Sumber: cefb@yahoogroup.com
Tahukah Anda
negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia?
Kalau Anda tidak tahu tidak mengapa, karena memang banyak orang yang tidak tahu
bahwa peringkat pertama kualitas pendidikan adalah Finlandia.
Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki, dimana perjanjian damai dengan GAM dirundingkan, ini memang begitu luar biasa sehingga membuat iri semua guru di seluruh dunia.
Peringkat pertama dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental. Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas.
Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi top momor 1 dunia? Dalam masalah
anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya.
Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.
Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah terlalu fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi
lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran!
Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula. Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula.
Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak
testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru di
Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih bebas. Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.
Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Di sini guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya.
Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.
Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan sebagainya. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.
Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing.
Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, kata seorang guru, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya! Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab.
Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki, dimana perjanjian damai dengan GAM dirundingkan, ini memang begitu luar biasa sehingga membuat iri semua guru di seluruh dunia.
Peringkat pertama dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental. Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas.
Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi top momor 1 dunia? Dalam masalah
anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya.
Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.
Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah terlalu fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi
lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran!
Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula. Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula.
Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak
testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru di
Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih bebas. Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.
Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Di sini guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya.
Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.
Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan sebagainya. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.
Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing.
Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, kata seorang guru, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya! Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab.
6.2. Lampiran 2: Artikel “Bangsa Jepang Yang Luar Biasa”
BANGSA JEPANG YANG LUAR
BIASA
Oleh Yuli Setyo Indartono
Mahasiswa S3 di Graduate
School
Tulisan ini tidak
bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala;
namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang
mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski
Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan
universal terealisir yang menarik
untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta.
Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.
01. Kantor pemerintahan dan pelayanan publik
Anda pernah meli hat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang
sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat.
Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari system pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.
Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal, pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu
mensyaratkan kejujuran.
Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat efisien. Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang
lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.
Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.
Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di Negara ini.
Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya
membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho). Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang.
02.Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian
Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut,
penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah meli hatnya dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalah
prasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan pelanggan.
Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli .
Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket melihat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).
Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli.
03.Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi
Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi m eli hat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan metafora. Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya
serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau. Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang sangat baik ini. Kemana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision
maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan berisi. Tak heran saya m eli hat mas-mas polisi muda berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.
04.Lingkungan hidup dan transportasi
Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir separuh populasi Republik tercinta.
Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan kebersihan. Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan dokternya.
Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki
kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang hádala yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2. Nasehat "tengoklah dari kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.
05.Kesehatan dan rumah sakit
Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu memajukan bangsa dan negaranya.
Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu
membayar 30% dari biaya berobat.
Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian Pendidikan Jepang. Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang. Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi - apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan yang sebenar-benarnya. Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian.
Saling percaya adalah kuncinya.
untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta.
Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.
01. Kantor pemerintahan dan pelayanan publik
Anda pernah meli hat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang
sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat.
Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari system pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.
Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal, pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu
mensyaratkan kejujuran.
Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat efisien. Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang
lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.
Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.
Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di Negara ini.
Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya
membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho). Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang.
02.Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian
Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut,
penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah meli hatnya dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalah
prasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan pelanggan.
Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli .
Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket melihat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).
Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli.
03.Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi
Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi m eli hat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan metafora. Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya
serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau. Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang sangat baik ini. Kemana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision
maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan berisi. Tak heran saya m eli hat mas-mas polisi muda berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.
04.Lingkungan hidup dan transportasi
Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir separuh populasi Republik tercinta.
Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan kebersihan. Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan dokternya.
Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki
kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang hádala yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2. Nasehat "tengoklah dari kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.
05.Kesehatan dan rumah sakit
Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu memajukan bangsa dan negaranya.
Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu
membayar 30% dari biaya berobat.
Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian Pendidikan Jepang. Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang. Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi - apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan yang sebenar-benarnya. Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian.
Saling percaya adalah kuncinya.
Diambil dari DetikForum
6.3. Lampiran 3: Artikel Pilihan 3 Artikel Anak Tiri Bernama bernama Pendidikan
ANAK TIRI BERNAMA
PENDIDIKAN
Oleh Lavinda *)
Koran Sindo, Tuesday, 20 May 2008
MOMENTUM kebangkitan nasional yang ditandai dengan pengukuhan nasionalisme
bangsa menyeruak seratus tahun lalu. Tepat pada 20 Mei 1908, Boedi Oetomo lahir
sebagai organisasi cikal bakal penggerak kebangkitan bangsa.
Ketika itu dr Soetomo beserta
kaum muda berpendidikan lain memunculkan kesadaran untuk melawan penjajah dan
bangkit dari keterpurukan,kemiskinan,serta keterbelakangan. Banyaknya kaum
terpelajar di Indonesia kala itu merupakan faktor munculnya kebangkitan
nasional.Ini membuktikan bahwa pendidikan mampu membawa perubahan bagi bangsa.Pendidikan diibaratkan sebagai sekrup multiguna, karena mampu bersanding dengan murid dari sektor-sektor lain. Sayang, pendidikan di negeri ini sering kali dianaktirikan. Bidang ini belum menjadi prioritas dan dianggap tidak lebih penting dari sektor lain. Asumsi pun mengudara,”Apa sebegitu kurang seksinya dunia pendidikan ini sehingga para penguasa enggan berinovasi?” Jawabannya hanya satu: entah.
Masalah itu sudah masuk ke ranah political will. Itulah yang akan menjadi gambaran nyata arah ketertarikan penguasa. Lemahnya sistem pendidikan baik dari segi dana, fasilitas, maupun sistem merefleksikan kemunduran negara. Indonesia belum mampu menciptakan inovasi dalam sistem pendidikan.Anggaran pendidikan pun masih kurang. Pendidikan layak hanya bisa dinikmati kalangan berpunya.
Pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 12% dari total APBN 2008. Pemerintah masih belum bisa menjalankan amanat Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 hasil amendemen keempat yang menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Atensi terhadap kesejahteraan guru pun tak jauh berbeda.
Realitanya,masih ada saja guru yang diupah tidak lebih dari tiga ratus ribu sebulan. Padahal, dalam konteks pendidikan, guru adalah ujung tombak. Mungkin itulah yang menjadi landasan berpikir bagi Ho Chi Minh (bapak pendidikan Vietnam) yang mengatakan ”No teacher no education. No education, no economic and social development”. Premisnya sangat lugas dan jelas. Jika ditelisik ke massa silam, tak banyak yang tahu bahwa banyak pahlawan tanah air kita mengawali kariernya sebagai guru.
Sebut saja Ir Soekarno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, Agus Salim, dan Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa bangsa kita besar dan bangkit karena pendidikan. Kebangkitan pendidikan Indonesia dapat diwujudkan dengan mereformasi sistem pendidikan. Pemerintah mesti sadar bahwa kecerdasan tidak semata-mata diukur oleh angka. Sistem tidak perlu membuat pendidikan menjadi tumbal bagi kepentingan politis.
Selain itu, pemerintah harus memberi perhatian penuh terhadap kesejahteraan para pelaku pendidikan. Pada dasarnya, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai proses sejarah. Penghargaan itu diwujudkan dengan mengembangkan pendidikan yang menciptakan pemikiran-pemikiran terbaik bagi kebangkitan bangsa. Berantas kebodohan dengan pendidikan.
Sesungguhnya kebodohan akan melahirkan berbagai bentuk penjajahan. Sama halnya ketika Belanda dengan leluasa menjajah negeri ini selama berabad-abad, akibat kebodohan yang mendarah daging. Kebodohan yang dibiarkan terus-menerus menggerogoti raga bangsa sekian lama. Apatah ada kebangkitan nasional jika si empunya (pendidikan) kian dianaktirikan dan tersingkir?